Abstrak : Kation dan anion dalam senyawa ionik adalah saling mempolarisasi. Polarisasi ini menyebabkan sebagian dari awan elektron atau rapatan elektron dari kation dan anion saling tumpang tindih dan jarak antara kation dan anion semakin dekat. Polarisasi pada pada fase gas adalah lebih kuat dibandingkan pada fase padat. Pada fase gas dapat terjadi polarisasi yang ekstrem sehingga awan elektron dari kation dan anion membaur. Akibatnya ikatan ionik yang ada dalam suatu senyawa pada fase padat atau dalam kristal berubah menjadi ikatan kovalen pada fase gas dan ikatannya menjadi lebih pendek.
Kata-kata kunci : polarisasi, transisi ikatan, ikatan ionic, ikatan kovalen
Pendahuluan
Di dalam soal-soal tes yang berkaitan dengan ikatan kimia seringkali muncul pertanyaan yang berkaitan dengan jenis ikatan, misalnya: “Apakah ikatan yang terdapat dalam KCl?” Pada umumnya jawaban yang diberikan adalah: “Ikatan dalam KCl adalah ikatan ionik”. Jawaban ini belum tentu betul, karena dalam pertanyaan tersebut tidak diberikan fase dari zat. Perubahan fase zat memungkinkan untuk perubahan atau transisi jenis ikatan yang ada. Dalam artikel ini diuraikan tentang transisi ikatan pada senyawa pada waktu terjadi perubahan fase zat dan penyebabnya.
Polarisasi
Pada dasarnya tidak ada senyawa ionik yang ikatannya merupakan ikatan ionik sempurna atau 100 % ionik. Di dalam senyawa ionik selalu terdapat karakter kovalen yang besarnya tergantung pada kekuatan polarisasi antara kation dan anion yang ada dalam senyawa tersebut. Kation dan anion terdiri atas inti atom dan awan elektron. Inti atom dari kation dapat mempengaruhi atau menarik awan elektron dari anion; inti atom dari anion dapat mempengaruhi atau menarik awan elektron dari kation. Fenomena ini dikenal sebagai polarisasi.
Pada dasarnya setiap senyawa mempunyai baik karakter kovalen maupun karakter ionik, akan tetapi di dalam membahas ikatan yang ada pada suatu senyawa biasanya dilakukan dua pendekatan berikut. Pertama , ikatan yang ada dalam suatu senyawa dianggap sepenuhnya ikatan kovalen apabila karakter kovalen lebih dominan dibandingkan karakter ionik, baru kemudian dimasukkan karakter ioniknya serta pengaruh adanya karakter ionik terhadap sifat-sifat fisik senyawa. Kedua , ikatan yang ada dalam suatu senyawa dianggap sepenuhnya ikatan ionik apabila karakter ionik lebih dominan dibandingkan karakter kovalen, baru kemudian dimasukkan karakter kovalen serta pengaruh adanya karakter kovalen terhadap sifat-sifat fisik senyawa.
Pendekatan pertama digunakan untuk menjelaskan pembentukan senyawa-senyawa polar, misalnya HF, H 2 O dan NH 3 . Pendekatan kedua digunakan oleh Kasimir Fayan dalam memberikan penjelasan kualitatif tentang adanya karakter kovalen pada senyawa ionik. Fayan mengemukakan bahwa suatu kation yang ukurannya kecil mampu mempolarisasi awan elektron dari suatu anion sehingga bentuk ion-ion tidak lagi sferik melainkan elipsoid seperti ditunjukkan pada images 1(b). Dalam keadaan yang ekstrem dimana polarisasi kation terhadap anion sangat kuat maka awan elektron dari kation dan anion akan membaur sehingga diperoleh senyawa kovalen seperti ditunjukkan pada images 1(c).
images 1(a) : Senyawa ionik ideal tanpa adanya polarisasi;
(b) : Senyawa ionik dengan adanya polarisasi;
(c) : Polarisasi yang ekstrim yang menghasilkan senyawa kovalen.
Menurut Fayan daya polarisasi kation akan bertambah dengan:
• Bertambahnya muatan kation dan berkurangnya ukuran kation .
Kation kecil yang bermuatan tinggi dan ukurannya kecil daya polarisasinya lebih besar dibandingkan daya polarisasi kation dengan muatan lebih kecil sedangkan ukurannya lebih besar. Misalnya daya polarisasi ion-ion Al 3+ > Mg 2+ > Na + karena muatan ion Al 3+ > Mg 2+ > Na + dan ukuran ion Al 3+ < Mg 2+ < Na + .
• Bertambahnya muatan dan ukuran anion .
Bertambahnya muatan dan ukuran suatu anion akan mengakibatkan anion semakin lunak (soft). Anion yang lunak ini awan elektronnya semakin mudah dipolarisasi oleh kation. Misalnya kemudahan untuk dipolarisasi oleh kation dari ion N 3- > O 2- > F - karena ukuran ion N 3- > O 2- > F - dan muatan negatif pada N 3- > O 2- > F - . Kemudahan suatu anion untuk dipolarisasi oleh kation disebut dengan kebolehpolaran (polarizability). Kelunakan anion I - > Br - > Cl - > F - sehingga kebolehpolaran I - > Br - > Cl - > F - .
iii. Konfigurasi elektron dari kation .
Untuk kation dengan ukuran dan muatan sama berlaku ketentuan berikut. Daya polarisasi kation dengan konfigurasi elektron ( n –1) d x ns 0 (konfigurasi elektron khas dari logam-logam transisi) adalah lebih besar dibandingkan daya polarisasi kation dengan konfigurasi elektron ( n –1) s 2 ( n -1) p 6 ns 0 (konfigurasi elektron gas mulia). Misalnya daya polarisasi ion Hg 2+ (dengan jari-jari 116 pm untuk BK 6) adalah lebih besar dibandingkan daya polarisasi ion Ca 2+ (dengan jari-jari 114 pm untuk BK 6). Hal ini disebabkan karena muatan inti efektif (Z * ) dari ion Hg 2+ lebih besar dibandingkan muatan inti efektif ion Ca 2+ . Perbedaan muatan inti efektif pada dua ion tersebut karena efek pemerisaian (shielding effect) orbital d adalah lebih lemah dibandingkan efek pemerisaian orbital s atau p .
Pada senyawa ionik sederhana, yaitu senyawa ionik yang kation dan anionnya hanya terdiri dari satu atom dan ukuran kation lebih kecil dari ukuran anionnya, daya polarisasi kation adalah lebih besar dibandingkan daya polarisasi anion.
Polarisasi pada Fase padat dan Fase Gas
Suatu senyawa dapat berlaku sebagai senyawa ionik baik dalam fase padat maupun dalam fase gas. Misalnya untuk natrium klorida, NaCl. Dalam fase padat NaCl mengkristal dalam kisi kubus berpusat muka, setiap ion Na + dikelilingi oleh 6 ion Cl - seharga dengan jarak yang sama; setiap ion Cl - dikelilingi oleh 6 ion Na + seharga dengan jarak yang sama. Geometri di sekitar ion Na + dan ion Cl - adalah oktahedral. Bilangan koordinasi ion Na + dan ion Cl - adalam enam. Dalam fase gas NaCl terdapat sebagai pasangan ion Na + Cl - dengan bilangan koordinasi masing-masing ion adalah satu.
Dalam fase gas daya polarisasi ion Na + digunakan sepenuhnya untuk mempolarisasi sebuah ion Cl - dan daya polarisasi ion Cl - digunakan sepenuhnya untuk mempolarisasi sebuah ion Na + . Dalam fase padat daya polarisasi satu ion Na + digunakan untuk mempolarisasi enam ion Cl - ; daya polarisasi satu ion Cl - digunakan untuk mempolarisasi enam ion Na + . Jadi kemampuan ion Na + dalam mempolarisasi ion Cl - dalam fase gas adalah lebih besar dibandingkan kemampuan ion Na + dalam mempolarisasi ion Cl - dalam fase padat. Kemampuan ion Cl - dalam mempolarisasi ion Na + dalam fase gas juga lebih besar dibandingkan kemampuan ion Cl - dalam mempolarisasi ion Na + dalam fase padat. Secara umum kemampuan suatu ion untuk mempolarisasi ion yang berlawanan muatan pada senyawa ionik dalam fase gas adalah lebih besar dibandingkan kemampuan suatu ion untuk mempolarisasi ion yang berlawanan muatan pada fase padat atau dalam kristal. Dengan kata lain polarisasi pada senyawa ionik dalam fase gas adalah lebih kuat dibandingkan polarisasi pada fase padat. Akibatnya karakter kovalen senyawa ionik dalam fase gas selalu lebih besar dibandingkan karakter kovalen senyawa ionik pada fase padat atau pada kristalnya. Sebagai konsekuensinya, panjang ikatan senyawa dalam fase gas selalu lebih pendek dibandingkan panjang ikatan dalam fase padat atau dalam kristalnya
Transisi Ikatan Ionik – Ikatan Kovalen
Apabila atom A dan atom B bereaksi membentuk senyawa AB maka jenis ikatan yang terbentuk ada dua kemungkinan, yaitu ikatan kovalen atau ikatan ionik. Seandainya ikatan yang terbentuk merupakan ikatan kovalen maka panjang ikatan teoritisnya dapat diperkirakan berdasarkan persamaan Schomaker-Stevenson
r A-B = r A + r B – 9| ? A – ? B |
dengan r A-B adalah panjang ikatan kovalen antara atom A dan atom B; r A adalah jari-jari lovalen atom A, r B adalah jari-jari kovalen atom B; ? A keelektronegatifan atom A, ? B adalah keelektronegatifan atom B. Harga r A-B , r A dan r B adalah dalam satuan pikometer (pm). Alternatif lain dalam memperkirakan panjang ikatan kovalen A-B dapat dilakukan dengan menggunakan
persamaan Porterfield : r A-B = r A + r B – 7| ? A – ? B | 2
atau persamaan Peter : r A-B = r A + r B – 10| ? A – ? B | - ( C A + C B - 17| ? A – ? B |) log n
dengan r A dan r B adalah jari-jari kovalen ikatan tunggal atom A dan atom B; C A dan C B adalah parameter ikatan rangkap untuk tiap atom; ? A dan ? B adalah kelektronegatifan atom-atom untuk hibridisasi tertentu; dan n adalah orde ikatan. Pada Tabel 1.29 diberikan data jari-jari kovalen ikatan tunggal dan parameter ikatan rangkap untuk beberapa atom.
Apabila panjang ikatan pada senyawa AB yang diperoleh dari hasil eksperimen sama atau lebih kecil dari panjang ikatan kovalen yang diperoleh berdasarkan persamaan Schomaker-Stevenson, persamaan Porterfield, atau persamaan Peter, maka ikatan yang terdapat pada senyawa AB merupakan ikatan kovalen dan AB dapat dianggap sebagai senyawa kovalen. Sebaliknya, apabila panjang ikatan pada senyawa AB yang diperoleh dari hasil eksperimen lebih besar dari panjang ikatan kovalen yang diperoleh berdasarkan persamaan Schomaker-Stevenson, persamaan Porterfield, atau persamaan Peter, maka ikatan yang terdapat pada senyawa AB merupakan ikatan ionik dan AB dapat dianggap sebagai senyawa ionik.
Seandainya senyawa kovalen AB dapat dibentuk dari ion A + dan ion B - maka ikatan yang terdapat pada senyawa AB tetap merupakan ikatan kovalen dan AB dapat dianggap sebabagi senyawa kovalen. Pembentukan ikatan kovalen ini dapat dianggap berlangsung melalui dua tahap yaitu: (1) pembentukan senyawa ionik A + B - ; (2) polarisasi ion B - oleh ion A + yang kuat sekali atau ekstrim sehingga ion A + dapat menembus (penetrate) awan elektron dari ion B- sehingga terjadi pemakaian bersama pasangan elektron antara atom A dan atom B dan ikatan yang ada merupakan ikatan kovalen.
A + B ¾ ® A + B -
A + B - (ionik) ¾ ® AB (kovalen)
Ikatan pada senyawa kovalen AB adalah lebih pendek dibandingkan ikatan pada senyawa ionik A + B - karena untuk dapat menembus awan elektron ion B - , ion A + harus mendekati ion B - .
Di muka telah dijelaskan bahwa polarisasi pada fasa gas adalah lebih kuat dibandingkan polarisasi pada fasa padat atau pada kristal. Hal ini memungkinkan untuk terjadinya peralihan atau transisi jenis ikatan pada suatu senyawa apabila senyawa berubah dari fasa padat atau kristal ke fasa gas. Untuk senyawa yang dalam fasa padat atau kristal ikatannya adalah ionik sedangkan pada fasa gas ikatannya adalah kovalen, terjadinya transisi jenis ikatan adalah didasarkan atas perbedaan panjang ikatan senyawa pada fasa gas dan panjang ikatan yang diperoleh berdasarkan persamaan Schomaker-Stevenson, persamaan Porterfield atau persamaan Peter. Apabila panjang ikatan senyawa pada fasa gas sama atau lebih kecil dibandingkan panjang ikatan yang diperoleh berdasarkan persamaan Schomaker-Stevenson, persamaan Porterfield atau persamaan Peter, berarti terjadi transisi ikatan ionik menjadi ikatan kovalen. Sebaliknya, apabila panjang ikatan senyawa pada fasa gas lebih besar dibandingkan panjang ikatan yang diperoleh berdasarkan persamaan Schomaker-Stevenson, persamaan Porterfield atau persamaan Peter, berarti tidak terjadi transisi jenis ikatan. Berikut diberikan sebuah contoh.
Untuk litium fluorida, LiF, jari-jari kovalen atom Li ( r Li ) adalah 134 pm, atom F ( r F ) adalah 71 pm; kelektronegatifan (diukur dengan skala Pauling) atom Li ( ? Li ) adalah 0,98, atom F ( ? F ) adalah 3,98. Berdasarkan persamaan Schomaker-Stevenson panjang ikatan kovalen Li-F ( r Li-F ) adalah
r Li-F = r Li + r F – 9| ? F - ? Li |
r Li-F = 134 + 71 – 9|3,98 – 0,98| pm
r Li-F = 178,0 pm.
Dari hasil eksperimen diperoleh panjang ikatan LiF dalam kristalnya adalah 200,9 pm dan dalam fasa gas adalah 156,39 pm. Data tersebut menunjukkan bahwa ikatan LiF dalam fasa padat atau kristal merupakan ikatan ionik, sedangkan dalam fasa gas merupakan ikatan kovalen. Jadi pada waktu LiF berubah dari fasa padat ke fasa gas terjadi transisi ikatan ionik menjadi ikatan kovalen.
Pada Tabel 1.30 diberikan data panjang ikatan dalam kristal, fasa gas, dan berdasarkan persamaan Schomaker-Stevenson dari beberapa alkali halida.
Data pada Tabel di atas menunjukkan bahwa ikatan dalam kristal MX (M = Li, Na, K; X = F, Cl, Br, I) adalah ikatan ionik. Dalam fase gas hanya NaCl dan NaBr yang dapat dianggap ikatannya tetap ikatan ionik. Alkali halida yang lain pada waktu berubah dari fase padat atau kristal ke fase gas mengalami transisi ikatan, dari ikatan ionik ke ikatan kovalen.
Sebagai konsekuensi dari pembahasan di atas maka suatu pertanyaan, misalnya: “Apakah ikatan yang terdapat pada KCl?” Jawabnya bisa lebih dari satu macam. Pada fase padat ikatan pada KCl adalah ionik, sedangkan pada fase gas ikatannya adalah kovalen. Jadi diperlukan suatu kondisi untuk dapatnya suatu pertanyaan dijawab secara tepat.
Penutup
Di dalam senyawa ionik kation dan anion saling mempolarisasi. Pada senyawa ionik sederhana daya polarisasi kation lebih kuat dibandingkan daya polarisasi anion. Polarisasi pada fase gas adalah lebih kuat dibandingkan polarisasi pada fase padat atau pada kristal. Polarisasi yang ekstrem menyebabkan rapatan elektron atau awan elektron dari kation dan anion membaur, sehingga ikatan ionik yang terdapat dalam senyawa dalam fase padat atau dalam kristal berubah menjadi ikatan kovalen pada fase gas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar