Rabu, 04 Maret 2009

Rahasia Cinta

Kuletakkan hidup setelah mati-nya Edgar Allan Poe dan kulirik jam dinding yang ada di kamarku ini. Pukul 23.00. Astaga …ini sudah larut malam sekali. Rupanya aku terlalu keasyikan membaca buku yang satu ini. Habis ceritanya fantastik sih. Benar-benar nampak real lho! Penulis begitu pandai melukiskan suatu keadaan yang mencekam yang akhirnya membuahkan ketegangan tersendiri bagi siapa saja yang membacanya. But, yang paling membuatku mengancungkan jempol adalah karena tidak ada unsur erotisme sama sekali di dalamnya
Benar-benar berbeda dengan buku-buku misteri yang dijual di pinggir-pinggir jalan itu. Kebanyakan dari mereka justru, sepertinya sih, lebih menjorok unsur yang kumaksud tadi ketimbang basicnya yang asli. Akibatnya aku sering bertanya pada diriku sendiri, “Kapan ya, di Indonesia akan lahir penulis cerita misteri yang sekaliber Edgar Allan Poe atawa Agatha Christie?”
Sebagai seorang pecandu bacaan misteri en horor, betapa aku sangat menantikan saat-saat seperti itu. Saat dimana akan lahir para pengarang buku yang berkelas wahid. Yang pasti mereka ini harus kreatif, imajinatif dan mampu menjauhkan karya-karyanya dari hal-hal yang berbau pornografi. Simple kan? Kalau sampai mereka tidak bisa, maka mereka ku anggap kalah dari penulis cerita komik misteri idolaku, Chie Watari. Ayo apa ada yang berniat memenuhi tantangan ini?
Perlahan aku bangkit dari pembaringanku manakala kurasakan haus menyerang kerongkonganku. Kuraih teko kecil yang terletak di atas meja yang ada di sisi tempat tidurku. Saat akan kutuangkan ke dalam gelas… Sial! Ternyata airnya habis. Ini dari kamar ini dan pergi ke dapur. Ruanga tengah yang ada di rumahku ini. Entah mengapa aku selalu merasa…takut? Bukan! Bukannya takut! Tapi sebuah perasaan yang aneh yang sangat sulit untuk kuartikan. Perasaan yang selalu mnyerangku tiap kali aku melewati atau berada di ruangan itu.
Ruangan yang sangat luas yang mana hanya ada dua kursi di sana. Dua kursi yang terletak saling bersisian. Ini…aneh kan? Selain itu tak ada apa-apa lagi di ruangan itu. Eh, ya, masih ada lagi yang tertinggal. Dan itu adalah hamparan karpet di lantai dan dua buah pot besar yang berisi sejenis tanaman beringin, kelihatannya sudah dibonsaikan. Kedua pot yang ditanami tumbuhan yang sepintas terlihat kembar itu diletakkan di kedua sudut ruangan, perisi di belakang dua buah kursi yang terletak berisian seperti singgahsana raja dan ratu itu. Akibatnya ruangan yang sudah luas itu jadi kian nampak luas saja di mataku. Sangat serasi untuk dijadikan semacam pendopo atau tempat pertemuan.
Dengan ogah-ogahan kulangkahkan kakiku. Kubuka pintu kamarku dan melangkah ke luar. Sepi…mengapa malam ini sepi sekali? Atau hanya perasaanku saja? Memang semestinya malam itu begitu. Tidak…malam ini memang sepi sekali. Teramat sangat sepi. Dari tadi tak terdengar suara binatang malam meskipun itu hanya tokek sekalipun. Sepi malam ini adalah sepi yang beku dan mati. Aromanya terasa hambar dan menyesakkan rongga-rongga dadaku. Tanpa sadar aku menggigil.
Dadaku kurasakan semakin sesak manakala kusadari kalayu langkahku kian dekat dengan ruangan itu. Apa sebaiknya aku kembali lagi ke kamarku ya? Tapi bodoh! Memangnya apa sih yang harus aku takutkan? Tangan-tangan pucat pasi yang tiba-tiba muncul dari kegelapan dan mencekikkuhidu-hidup? Begitu?Ah,itu tak mungkin, kalau memang ada hantu di rumah ini, mestinya aku sudah melihatnya sejak dulu-dulu lagi. Ya, sejak aku kecil. Tapi nyatanya tidak kan? Buktinya semua penghuni ruangan ini tenang-tenang saja kok! Tak pernah terdengar keluhan menyangkut teror dari makhluk-makhluk gaib dan sebangsanya itu. So,what I should afraid of? Nothing.
Akupun meneruskan langkahku yang sempat terhenti, langkahku yang ini kurasakan lebih ringan dari yang tadi. Mungkin , karena aku sudah terlepas dari segala macam pikiran buruk yang membelengguku. Tinggal satu, dua langkah dan kutarik dan kusembunyikan tubuhku dibalik dinding tikungan ini.
Sesaat aku mengatur nafasku. Apakah aku tidak salah lihat? Kok ruangan itu jadi ramai sekali? Begitu banyak orang yang ada disana. Seperti mau rapat! Apa ibuku sedang mengadakan arisan? Ah, sepertinya tidak atau jangan-jangan ayahku sedang mengadakan rapat RT untuk membahas ayam-ayam warga yang kerap hilang akhir-akhir ini? Eh, itu …tunggu dulu! Kalau lah ibuku mangadakan arisan atau ayahku mengdakan rapat, masaka pada jam segini sih? Terus orang-orang itu siapa dong? Maling? Gile…! Masak maling memakai pakaian seperti itu?
Kulongokan wajahku dan kuberanikan diri untuk meneliti wajah-wajah itu satu persatu. Tahu suasana resmi orang jawa khan? Nah, mereka wajah-wajahnya yang ku kenal itu, mengenakan pakaian seperti itu. Satu, dua, …berapa ya jumlahnya mereka? Kelihatannya kok banyak sekali…
Mataku tertuju pada dua buah kursi yang ada di ruangan itu. Masih kosong, kira-kira siapa yang akan menempatinya ya? Mungkinkah orang yang sedang mereka nanti-nantikan itu? Lho? Darimana aku tahu kalau orang-orang itu sedang menanti-nantikan seseorang? Entahlah, katakanlah aku hanya menduga-duga, soalnya orang-orang itu nampak gelisah sekali sih. Mereka kasak-kusuk dalam bahasa jawa yang untungnya masih bisa aku mengerti. Teng! Genap sudah jam 12 malam tepat. Saat itu…
“Sugeng Rawuh Rama…bu…” orang-orang itu memberikan salam secara serentak pada sepasang pria dan wanita tua yang baru saja muncul di ruangan itu. Kelihatanya kedua orang itu sangat disegani oleh mereka semua.
Dari tempatku kulihat sepasang pria dan wanita yang datang paling akhir itu kemudia duduk di kursi kosong itu (Atau memang sengaja dikosongkan?). Harus kuakui kalau memang lelaki tua itu kelihatan sangat berwibawa sekali. Matanya memandang satu persatu wajah-wajah yang tertunduk dihadapannya.
Dai seperti kepala pasukan yang sedang memeriksa para prajurit , satu persatu, gitu kan, Hush! Ngawur! Kalau prajurit kan tidak boleh menunduk wajahnya…Apapun yang terjadi, wajah harus tetap di angkat en pandangan kedepan. Nah, itu baru betul! Sedang wanita yang ada disampingnya adalah gambaran wanita jawa yang tempo dulu. Lemah lembut ,feminim dan keibuan.
Terus terang aku tak bisa menggambarkan apa yang saat ini kurasakan. Apakah itu rasa tidak percaya yang saat ini kulihat, ketakutan, tau enhat apa lagi.Semua seperti campur aduk jadi satu!
Apa yang ada dihadapanku saat ini bagai sebuah dunia yang tak ku kenal. Dunia yang sudah selang tahunan atau bahlan belasan tau puluhan tahun yang lewat dari duniaku yang sekarang ini. Dan aku, telah masuk ke dalamnya?
“Hei,kamu!”
Celaka…rupanya karena tahu kalau aku telah mencuri dengar percakapan mereka dari tempatku ini. Kulihat, wajah-wajah mereka berpaling dan menatap ke arahku. Satu diantara mereka berdiri dan berjalan kemari. Ya, ke arahku!
“Rupanya kamu sudah besar nduk. Sudah cantik.” Kata laki-laki setengah baya itu begitu ia sudah tiba dihadapanku. “Dulu kamu masih kecil sekali waktu masih kupangku dan kugendong. Sekarang…”
Aku mundur beberapa langkah kala laki-laki itu berusaha menyentuh wajahku.
“Kenapa nduk? Apa kau sudah lupa padaku? Ini aku… Eyangmu.” Laki-laki itu menatapku dengan wajah yang melas.
Eyang…? Eyangku? Ayah dari ayahku? Tidak…tidak mungkin. Bukankah kakekku sudah meninggal saat aku baru berusia 5 tahun? Lho, kalau begitu yang dihadapanku ini… orang-orang ini…
Aku ingin kembali!! Aku ingin kembali ke duniaku. Aku ingin kembali…!!
“Selamat pagi! Selamat pagi! Selamat…” suara dari jam mungil pemberian kakekku itu menyadarkanku dari tidurku sekaligus mimpiku. Mimpi…? Jadi semua itu Cuma mimpi ya? Ah, ya, Cuma mimpi.
Perlahan aku bangkit dari tempat tidurku dan melangkah ke arah jendela kamar ini. Begitu aku menguakkan tirainya, sinar mataharipun menerobos masuk, menyilaukan.
Tak henti-hentinya aku mengucap syukur, apa yang kulihat dan ku alam ke ruangan tangah itu Cuma mimpi belaka. Sial! Rupanya aku terlalu terpengaruh cerita ayahku yang mengatakan ruangan tengah itu, dari jaman dulu sering digunakan sebagai reuni keluarga yang diadakan tiap pertengahan tahun sekali. Tepatnya 15 juni .
Ya, hari ini, tapi saat aku hendak melewati ruang tengah itu betapa kaget bukan alang kepalangnya diriku. Kulihat di karpet yang merah menyala itu tampak sebuah kancing baju keemasan yang unk dan antik seperti kancing-kancing yang biasa dipakai untuk pakaian eyangku dulu. Tidak…ini memang miliknya. Semalam dalam mimpiku kulihat ia mengenakan kancing yang seperti ini. Ya, aku ingat betul itu. Lho, jadi mimpiku semalam itu…reuni itu…
Dan akupun ambruk ke lantai yang berhias karpet merah itu, sambil menggenggam kancing itu di tanganku***

Tidak ada komentar: