Kita pernah begitu dekat. Seperti udara yang kita hirup, seperti air yang kita minum. Kedekatan yang telah menimbulkan iri dan cemburu yang lain, sekaligus rasa bangga di hatiku. Maklum, kamu begitu ramah, cantik, dan pintar. Sedang aku Cuma bertampang pas-pasan, cenderung kuper dan penghayal yang parah.
Aku masih ingat ketika si bawel gembrot Astirin itu bertanya: “Apa sih enaknya bersobatan pada kuda sakit gigi?”
Apa jawabmu? “Kalau doi bukan kuda sakit gigi, aku malah nggak bisa dekat. Aku paling seel dengan cowok reseh yang omongnya cerewet kayak emak-emak.”
Ah, kamu, Fe! Aku tahu, kamu Cuma berusaha menutup kekuranganku di hadapan mereka. Mana mungkin kamu nggak senang dengan cowok yang banyak omong. Kamu sendiri ceriwisnya minta ampun. Setiap aku kehabisan kalimat, justru kamu yang merajuk: “Omong, dong! Apa gitu. Masak oleh-oleh dari liburan selama seminggu di desa hanya dua kalimat. Rugi dong!
“Cerita apa lagi…Sudah habis. Cerita sungai ya Cuma itu. Sawah ya Cuma itu.”
“Masak desa kakekmu Cuma ada sungai dan sawah. Kan ada sapinya, kerbaunya, kambingnya atau aym-ayamnya, masih banyak lahi kan?” hehehe…
Kamu berbondong begitu, jadinya aku kelabakan. Kuakui banyak yang bisa diceritain, banyak yang menarik. Tapi omongnya susah. Kamu tahu kelemahanku, ya kalau harus omongin itu. Kalau nggak, percuma mereka memberiku gelar “kuda sakit gigi”
“Besoklah, aku tuliskan dalam surat,” ucapku akhirnya
“Surat? Edan kamu. Masak kita sudah ketemu mau omongnya saja pake surat. Mending kalau lewatin ke pak pos. kalau kamu berikan langsung ke aku di kelas sembunyi-sembunyi kayak dulu itu malah bikin perut mules.hehheh….
Tak bisa lain. Akhirnya aku cerita lagi. Terbata-bata, kayak anak SD belajar membaca
Rasanya seluruh keringat keluar dari pori-poriku. Saat itu.
Kita pernah begitu dekat. Begitu kan, Fe? Hanya patut disayangkan, kamu sudah keburu pergi sebelum kedekatan itu membuahakan sesuatu yang seperti ku harapkan. Perasaan cinta yang ku redam saban hari akhirnya gugur perlahan namun pasti, serupa daun-daun kering yang berserak di halaman sekolah kita.
Aku paham, itu bukan salahmu, bukan salahku, asat salah kita. Papamu seorang serdadu yang mesti berangkat ditugaskan kemana pun atasannya memerintahkan. Sementara aku tak bisa mengikuti kepindahanmu dari satu sekolah ke sekolah lain, dan satu kota ke kota lain. Walau sering berhayal bisa begitu
Fe, jujur saja aku sudah berusaha keras untuk menghapus bayanganmu dan kenanganku atasmu. Aku takut jalan Urip Sumoharjo yang rindang oleh pohon flmboyan yang berjajar itu. Semata-mata takut teriangt, kita pernah berteduh di bawahnya sambil berkhayal (eh, yang berkhayal ukan kita tapi aku) betapa asyiknya bila di sepanjang jalan ini di beri kursi panjang-panjang untuk membaca kayak di luar negeri. Aku memang belum pernah ke luar negeri (belum pernah ke luar kota). Tapi aku sering membayangkan lewat gambar-gambar di majalah. Dan kau tertawa ketika ku utarakan itu kepadamu. Tapi aku sama sekali tidak sakit hati kau tertawakan. Aku malah makin seru membayangkan keindahan yang lain-lain, kadang yang bukan-bukan. Dua tahun kita bersama di SLTP 27. Suatu rangkaian waktu yang relatf, menurut Albert Enstein. Artinya bisa berarti lama, bisa pula terlalu singkat. Dan aku pilih yang terakhir
Betul, Fe! Aku merasa waktu yang dua tahun terlalu singkat. Satu penyebaabnya jelas, aku belum bisa mewujudkannya dalam untaian cinta kasih. Aku belum sempat mengatakan cinta kepadamu, walaupun sukapku sudah lebih mewakilinya, lebih dari sekedar kata-kata. Mengertikah kamu, Fe? Adakah kamu merasakan?
Semenjak kepergianmu jujur saja kukatakan, ada beberapa akli aku membayangkan gadis lain sebagai penggantim. Di SMU 9 ini gudangnya cewek cantik. Sebenarnya bisa aku membayangkan bercinta dengan salah satu, salah dua, atau beberapa sajalah diantara mereka.Cuma membayangkan, Fe, kenapa tak bisa? Tapi toh gagal-gagal melulu. Sosok dan bayanganmu lebih kuat dari mereka. Kukira itu lantaran tak sedikit memori yang kita ukir bersama.
Fe, Cd plus poster Mariah Carey pemberianmu itu juga kuraway dengan baik. Cdnya sekali waktu ku putar, Terutama saat sedang suntuk dan ingat kamu. Posternya kupasang di depan meja belajar. Kamu tahu aku demen banget sama penyan yang di puji mati-matian sama David Foster itu. Elakanya, sat kupandang lama-lama wajah Maria Carey yang muncul justru kamu,Fe.Kamu!
Oh ya, ada pengalaman lucu waktu usai ebtanas SLTP kamu masih ingat Cintanya, kan? Ya, yang memusuhimu habis-habisan dan pada gilirannya memusuhi aku juga itu? Iya akhirnya menyadari kesalahnanya dan minta maaf. Kepingin minta maaf kepadamu juga, tapi kebruh kamu pindah. Jadinya dilewatkan ke aku. Dikiranya aku bisa selalu berhubungan denganmu. Padahal surat yang ke enam itu kontak kita akhirnya putus oleh sesuatu yang tak jelas.
Ajaibnya, Fe, bukan Cuma minta maaf. Cintanya malah omong mau ‘nelamar’ aku kalau aku mau. Iya, Fe, omongnya ‘nglamar’ Aku samapai gelagapan dibuatnya. Tak tahu harus ngejawab apa. Mau kubilang ‘kamu bercanda’ takutnya dia malah marah . Solanya dia serius banget waktu omongnya. Dengar, Fe!
“Aku tahu, kmau duluan jadian sama si Ife itu, karena Ife yang agresif. Ife yang ngelamar kamu, aku tau itu. Tanpa begitu nggak mungkin dia bisa pacaran sama kamu”
Astaga naga ! Cintanya yakin banget kita pacaran. Padahal, kita Cuma bisa dekat. Setidaknya kiat tidak pernah ngomong apa istilahnya yang paling tepat untuk kedekatan kita.
Tapi tunggu dulu, Cintanya masih terus dengan ocehannya!
“Aku juga tahu kamu sedang kosong. Iya, akan her?”
Kosong?
Tiba-tiba kau kepingin ketawa keras. Tiba-tiba aku ingat kata kosong yang kamu ucapkan bila kita pesan bakso di pojok kota barat. Kok kayak bakso aja ya, Kosongan?
“Kamu tak harus menjawab sekarang, her. Masih ada beberapa minggu sebelum perpisahan sekolah kita. Aku kepingin tahu jawabannmu. Langsung dari mulutmu. Tak pake surat-suratan. Syukur kalau nanti kita bisa satu sekolah lagi. Seandainya tidak, sekurang-kurangnya aku sudah tahu apakah cinta kamu sudah tumplek blek ke Ife atau masih mencintai yang lain.”
Ah kamu pasti tau jawabku, fe. Jawabanku adalah tidak menjawab. Mana mungkin aku bisa ngomong soal kamu tau soal kita ke dia. Untung ia pun akhirnya tak menagih. Waktu perayaan perpisahan di aula, ia malah nampak akrab dengan Beni. Satu mobil dengan nak juraganmebel itu waktu pulang. Alhamdullliha!
Fe, kita pernah begitu dekat. Kedekatan yang membuatku seperti disiksa kekkangenan dari waktu kewaktu. Kedekatan yang membuatku masih sendiri di mala minggu dan harus kikuk bila harus menghadiri ultah teman.
Itulah , maka aku hampir berteriak gila ketika aku sudah berada di puncak kelelahan mengharapkan datangnya keajaiban tiba-tiba kamu muncul di SMU 9 . Tentu aku tak yakin, Fe. Bila bukan kamu sendiri yang datang ke kelasku di iringi anak 11.8 (Ah, siapa namanya itu?) Waktu istirahat pertama.
“Aku masih Ife Rahardianti yang dulu, Her. Tuhanyang memepertemukan kta kembali. Ayahku dipindahkan ke sini lagi untuk promosi jabatan dan kepangkatan yang lebih tinggi” dengan suara yang amat ku kenal.
Aku tersenyum. Kaku saat harus menjabat tangnmu. Seolah menghadapi kenalan baru. Padahal aku juga sadar, kamu masih belum banyak berubah. Msih canti, masih pintar dan masig secerewet cucak rowo.
Lalu kamu tanya, aku naik apa pulangnya, yang segera aku jawab: biasa naik angkutan umum. “Kita bisa bareng,” ujarmu dengan mata berbinar.
“Apa kamu tak dijemput,”
“ Dijempur pak supir makanya kita bisa bareng.”
Ah, aku tak pernah bermimpi bisa naik mobil pribadi. Apalagi semobil denganmu. Tapi toh tak semua kenyataan harus diawali dengan mimpi.
Kalau ku tawari mampir. Kamu menolak dengan alasan lain kali saja untuk tak menampakkan kegembiraan yang berlebihan. Maka juga kubilang yang sama: lain hari saja. Toh, nggak keburu pindah lagi, kan? (Tapi ayng ini Cuma dalam hati”)
Sabtu sore aku datang ke rumahmu. Seperti janjimu siangnya, kamu menjemputku di tempat penjagaan. Bukan karena aku takut menghadapi petugas jaga yang seram-seram itu, tapi pasti lebih tidak banyak tanya-jawab, bila kamu yang menjelaskan.
Lalu akupun duduk di ruang teras. Ibumu masih ingat padaku. Masih menyambut ramah walaupun logat jawa Timurnya masih tetap kental
“Kebetulan her. Ini malam kan ada pentasnya Shelia on 7 di GOR. Kita nonton yik?”
Aku senang dengan tawaranmu itu. Aku pun berminat. Tapi ketika tawaranmu itu tak Cuma berhenti di situ, kalimat lanjutannya itulah yang bikin aku seakan mati berdiri.
“Nanti Rizal menjemputku nanti kita bisa berangkat bareng-bareng.”
“Rizal?”
“Iya Rizal. Rizal kita itu. Masak lupa?”
Ah, kalau Rizal yang itu ya keterlaluan kalau sampai lupa. Ia teman sekelas waktu di SLTP, bahkan pernah sebangku di kelas dua. Cukup akrab walau tak sedekat hubunganku dengan Ife. Kami berpisah saat itu memilih kota malang yang sejuk sebagai tempat untuk melanjutkan SMU-nya. Maklum ortunya disana. Disini dulu ia ngikut pamannya dan atas permintaan sang paman yang sangat mendamakan anak laki-laki.
“Jadi Rizal datang?” tanyaku dengan perasaan tak menentu.
“Dua hari yang lalu ia telpon. Bilang mau kesini. Sekalian aku beritahu ada pentas Shelia on 7 di GOR. Seneng kan kita bisa ngumpul lagi.” Tuturmu dalam nada riang yang lepas.
Sementara kekhawatiranku semakin mendekati kenyataan. Dan aku memang tak perlu mencari pembuktian yang terlanjur sebab kamulah yang dengan entengnya berceloteh.
“Sejak kepindahanku ke Jakarta ia yang rajin terus berkirim surat aku sama kamu malah sempat terputus. Dia nggak. Paling tidak, sebulan sekali ia beri kabar. Sampai akhirnya ia nekat pada suatu hari mengunjungi jakarta. Sejak itulah dan begitulah ceritanya, kami pacaran hingga sekarang. Pacaran model kertas dan kabel,hahhaaha… bisa ngomong, bisa saling baca perasaan masing-masing lewat tulisan. Tapi ketemunya amat jarang. Rencananya juga aku besok juga ambil kedokteran di Unibraw bareng dia.”
“Kamu sendiri gimana,her? Masih mau jadi arsitek yang menyulap kawasan kumuh jadi asri kayak Romo Mangun?”
Aku Cuma mengangguk. Kemudian menggeleng. Mengengguk lagi. Ah, Ife. Aku harus omong apa?
Yang jelas, sore itu aku pilih pulang sebelum Rizal datang. Aku tak mungkin tahan melihatmu jalan bareng, bergandengan tangan. Betapapun baiknya kalian berdua kepadaku. Betapapun kuatnya keinginanku melihat pemangguangan Shelia on 7 di GOR
Aku pilih jalan sendiri menyusuri sepi. Aku lebih memilih menghibur diri dengan lam yang ramah di gunung tau di laut. Kukira itu lebih baik dari pada ngotot tak rela ataupun bunuh diri.
Kita memang pernah dekat, Fe! Teramat dekat. Tapi mana tahu kalau kita ternyata hanya seorang sahabat. Tak lebih dan tak kurang.
Aku tak paham, apakah itu Cuma slahku yang seorang penghayal dan menulis untuk dirinya sendiri tapi tak becus membangun komunikasi lisan? Atau memang nasib harus berkata lain.
Ketika mbak Arum, kakakku yang kuliah di farmasi itu menasehati agar aku mau belajar ngomong dan tak pelit dengan kata-kata, terutama di hadapan cewek, aku pun maklum
Kurasa mbak Arum benar. Tapi untuk kasus kita. Fe, untuk mengejarmu apa tidak terlambat? Ibarat berjalan di atas permukaan air sungai yang mengalir, aku tak bakal menginjak air yang sama
Fe,mudah-mudahan kamu membaca ksah ini***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar