Rabu, 04 Maret 2009

Suatu Masa

Karena sedang bosan, ditambah rasa kesepian karena sobat karibku tidak hadir di kampus, aku ‘take a walk’ ke Falkultas Teknik. Kata teman-teman cewek, boys disana cakep-cakep dan berkulit putih. Bagus juga untuk cuci mata, karena Adam di Fakultas Pertanian rada gosong akibar keseringan praktek lapangan.
Disanalah aku ketemu Aris, makhluk cakep yang satu jurusan denganku. Kami berkenalan karena ‘kecelakaan kecil’ seperti yang sering disuguhkan dalam sinetron-sinetron muraha atau roman picisan. Tabrakan dielokan pemisah studio gambar 1 dan kantor tata usaha.
“Aduh!” Kuraba dahiku yang membentur sebentuk bahu kekar
“Ups,t thanks!” celetuk sebuah suara pada saat yang sama.
Setengah merengut kudongakkan kepala. Seraut wajah cakep melempar senyum menggoda, menampilkan sederetan gigi sempurna.
“Bego.” Desisku sambil menahan sakit.
“Udah buat salah, malah bilang thanks. Baru turun dari gunung mana sih. Kok nggak bisa ngebedain waktunya minta maaf dan berterima kasih?”
“Hei, benar-benar sakit ya?” Suaranya agak khawatir
“Emang kenapa?”
“Di bulan kan nggak ada coklat,” godanya
Dengan menahan dongkol aku melewatinya dan meneruskan langkah mengelilingi Fakultas Teknik. Sayang, batinku, tampang oke tapi nggak normal. Moga-moga aja makhluk berikut ‘more human’
Namun sampai kakiku pegal dan kerongkonganku kering, tak ada lagi cowok cakep yang terlihat. Semua masih di bawah tampang si tukang tabrak itu. Agaknya para makhluk cute tahu tentang kehadiranku, jadi mereka memilih sembunyi. Dasar naas.
Dengan langkah lesu, kuayunkan kaki menuju halaman belakang Fakultas teknik. Dibangku sudah ada sesosok manusia yang tengah membaca. Saat kakiku menginjak rerumputan, wajahnya terangkat.
“Hai,” sosok itu menyapa riang sembari (Lagi – lagi) memamerkan sederetan mutiara di sela bibirnya yang seksi mirip Kian Egan (idih!)
“Ups, sori, aku kesasar . Bye!” kubalikkan tubuh.
“Tunggu” ccegahnya tanpa berdiri. “Karena udah terlanjur tiba disini, kenapa nggak duduk aja? Aku tak akan mengganggumu.”
“Thanks a lot, tapi aku Cuma iseng. Lebih baik aku kembali aja ke Fakultasku” Cowok itu mengangkat alisnya yang bagus, buru – buru aku menambahkan, “Fakultas Pertanian, jurusan teknologi hasil.”
“Aha!” serunya dengan nada takjub. “Ternyata aku berhadapan dengan ibu petani, pekerja paling mulia.”
“Itu gelar untuk anak budidaya” jelasku.
“No problem. Aku sudah lama pingin punya teman anak pertanian, sepertinya kali ini keinginanku bisa terpenuhi. Mau nggak jadi temanku?”
Tanpa menjawab, aku mendekat dan duduk disampingnya. “Apa untungnya buatmu?”
“Tambah satu teman berarti tambah satu saudara”
“Bagus” pujiku tulus. Cowok ini boleh juga kayaknya doi bukan tipe cowok yang hobi kenalan karena ganjen atau caper.
“Namaku Aris” sebutnya. “Aris Djingga.”
“Freshy Airlangga.”
“Namamu keren, pasti selalu dalam keadaan segar ya?”
“Nggak juga, sekarang aja aku sedang lesu.”
“Tapi tampangmu tetap penuh semangat. Aku bisa merasakan kalau kau pekerja keras yang terkadang melalaikan istirahat, juga kesehatan, untuk menyelesaikan tugasmu.”
“Aku baru tahu kalau di teknik ada jurusan paranormal.”
“Aku benar kan?” kejarnya.
Well, dia memang benar. Satu jam berikutnya kami terlibat percakapan seru seputar kuliah, disiplin ilmu masing – masing, dan kesulitan yang kerap ditemui dari segi matakuliah, dosen, maupun sarana perkuliahan.

Pada satu masa.
Waktu itu telah lebih satu semester persahabatanku dan Aris berjalan mulus. Karena matakuliah kami sudah banyak berkurang, kami bisa semakin sering.
“Hampir Valentine,” gumam Aris.
Kami sedang berada di kebun percobaan mahasiswa agronomi.
“Kau kelihatan sedih Ris. Apakah Ultahmu merupakan sesuatu yang mengerikan untukmu?” selidikku.
“Bagaimana denganmu?” Dia malah balik bertanya. “Apakah Ultah selalu memberimu sesuatu yang spesial, mungkin kesedihan atau kegembiraan?”
“Sejak dulu, yang aku tahu ultah itu waktunya memberikan kasih sayang untuk semua yang bernyawa. Aku merayakannya dengan banyak cara, baik sendiri maupun bersama keluargaku.”
“Mau menceritakannya padaku?” lemah suara Aris.
Aku mengunjungi panti – panti asuhan, melepaskan hewan – hewan, atau membuat acara kecil di rumah, menghiasi setiap sudut ruangan dengan pernak – pernik berwarna pink. Terkadang aku menyendiri di atap rumah, memetik gitar sambil memandang langit, lalu menitipkan pesan perdamaian pada bintang – bintang.
Mendadak aku tersadar kalau Aris tak bersuara, jauh beda dengan kesehariannya. Saat kuperhatikan, wajah rupawannya begitu suram dan… matanya dipenuhi kaca – kaca cair. Kusentuh pelan jemarinya, kaca – kaca cair itu menetes. Detik berikutnya, Aris menumpahkan kesedihannya dibahuku. Aku tidak bertanya hanya mengelus bahunya untuk mengatakan bahwa aku berusaha memahami perasaannya, meski tak tahu apa yang dia alami.
“Kenapa kau tidak beranya apapun Freshy?” sendat Aris sekian menit berikutnya.
“Terkadang pengertian jauh lebih ajaib dari pada segudang pertanyaan. Dan tidak semua pertanyaan perlu dijawab.”
Aris menyeka matanya sambil tersenyum getir.
“Aku tampak konyol ya? Kau pasti menilaiku jelek sekarang. Memang gak pantas cowok nangis di depan cewek.”
“Tangis dan airmata adalah milik semua manusia Ris. Kalau menangis bisa membuatmu lega, menangislah sepuasnya. Aku tidak akan melihatmu berbeda hanya karena ini.”
Cowok itu tertegun.
“Thanks Fresh. Seharusnya sejak dulu kita ketemu” bisiknya sambil menggenggam erat kedua tangan.
“Bolehkah aku merayakan ultah kali ini bersamamu, bersama keluargamu?”
“Welcome to heaven, fiend.”

Pada satu masa.
Tepatnya sehari menjelang ultah. Sejak siang seisi rumahku sudah sibuk menata ruangan dengan hiasan – hiasan berwarna muda. Aku sudah memberi tahu keluargaku kalau….
“ Ultah besok, rumah kita akan kedatangan seseorang yang mungkin belum pernah merasakan kasih sayang sejati.”
Mama yang lembut dan penuh perhatian merangkulku dengan cinta seraya berbisik. “Rumah ini dan seluruh isinya akan memberikan semua itu padanya.”
Bahkan sikecil Leony ikut berceloteh, “Mama, boneka Ony juga boleh dipinjam kok.”
“Thanks ma” aku malas berbisik, lantas berlari ke kamar untuk mencoba gaun pink pilihan mama, gaun pertama yang kumiliki dalam sepuluh tahun terakhir.
Gaun itu masih melekat ditubuhku ketika telepon di ruang keluarga berdering. Kudengar mama berbicara dengan nada lirih, menutup telpon lalu merangkulku beberapa detik.
“Pergilah ke rumah sakit Fresh, ada seseorang yang sangat membutuhkanmu.”
Kak Wisnu mengantarku sampai ke pinti kamar tempat Aris terbaring tak berdaya. Perban yang membalut sekujur tubuhnya dipenuhi bercak merah, namun ternyata dia masih bisa merasakan kehadiranku.
Bibir Aris bergerak – gerak segera ku sentuh dengan telunjuk.
“Aku sudah tahu dari polisi di depan sana” bisikku sambil berusaha menahan tangis. “Kau harus sembuh Ris, setiap sudut rumahku sudah siap menyambut kedatanganmu, memberikan cinta untukmu.”
“Hanya mendengarnya…, aku … sudah merasa… ada di rumahmu yang hangat…, Fresh.”
“Jangan menyerah Ris, bertahanlah untukku.”
Aris memberi isyarat agar aku mendekat. Kudekatkan wajah…., dan kelembutannya menyentuh sekilas bibirku.
“Happy birthday Freshy.”
Layar monitor elektro kardiogram menampilkan sebentuk garis lurus dan terdengar bunyi monoton. Para medis mondar-mandir mngeluarkan suara panik yang rasanya datang dari dunia lain. Aku seperti terlempar keluar dari galaksi ima Sakti.

Pada suatau masa,
“Dunia sungguh tidak adil,” desisku di depan seonggok tanah merah. “Kenapa bahagia tidak pernah lama menjadi milik kita, mama, kenapa?”
“Aris sudah bahagia di atas sana, sayang,” hibur mama, mengelus rambutku. “Bersama adiknya, mereka akan saling menjaga.”
Terngiang di telingaku penjelasan polisi malam itu.
“Adik buangsunya memang cacat mental, tapi biasanya tidak pernah bertindak agresif, bahkan sangat pasif dan tidak mau ditemui siapapun, Entah kenapa malam ini dia mnedadak liar, menyerang saudaranya. Anggota keluarga lain kebetulan tidak ada di rumah. Tiga puluh tusukan pisau di sepanjang dada, perut dan punggung korban.”
“Merobek jantung dan sebagian besar paru-paru,” tamar dokter UGD yang bertugas. “Terus terang kami pesimis sejak awal karena pendarahan tidak mau berhenti. Suatau keajaiban dia bisa bertahan sampai nona datang.”
“Dan adiknya?”
“Bunuh diri ketika melihat kakaknya bersimbah darah.”
Aris Djingga. Aku masih memakai gaun pink saat bersimpuh di depan rumah barumu. Pada suatu masa, aku janji kita akan merayakan ultah bersama. Barangkali di surga

Tidak ada komentar: