Rabu, 04 Maret 2009

ULTAH NASHA


Aku anak tunggal dari keluarga terbilang ternama. Aku salah satu siswi di sekolah elite dan untuk kesekian kalinya aku menambah piala di lemari Kepsek sebagai juara 1 lomba english debate.

“Congratulation Nas, aku yakin kamu yang jadi pemenangnya,” kata Carol, salah satu teman dekatku sambil terus mengulum lolipopnya yang tinggal separuh.

“Ya….” Jawabku datar.

Lauravian Pranasha, orang – orang biasa memanggilku Nasha. Padahal sebenarnya aku ingin sekali orang – orang memanggilku Laura. Kau tahu kenapa? Mungkin nama Nasha terlalu keren untukku. Nasha, nama yang unik itu merupakan nama penggabungan dari kedua orang tuaku. Na, asal mulanya Krisna, nama ayahku. Dan Sha, diambil dari nama ibuku, Wisha.

Kring….Kring…Bel tanda istirahat membuyarkan semua lamunanku tentang diriku sendiri.

“Hai Nasha…! Selamat ya. Kamu sekali lagi berhasil ngalahin aku. Kapan-kapan gantian ya!” Kata Jasmine sambil mendekati tampat duduku. Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya.

Tiba-tiba…..

Suara ringtone Can’t Take My Eyes Off You dari Muse mengagetkanku.

“Hallo, selamat ulang tahun ya sayang. Sayang maaf ya nanti mama pulangnya telat, karena masih ada urusan kerja. Jadi tidak bisa menemani Nasha,” Kata mama yang disebrang sana.

“Tapi ma, hari ini kan ulang tahun Nasha. Mama kan uda janji mau temenin Nasha, kali ini aja ma! Please ma untuk sekali ini aja,” ucapku memohon.

“Maaf sayang mama tidak bisa. Mama mau ada tamu penting dari taiwan. Udah! Mama mau siap-siap. Mama bisa-bisa kehilangan tender kalau tidak mengerjakan pekerjaan unu dengan baik. Mama yakin kamu akan baik-baik saja, nasha kan anak mama yang mandiri,” Kata mama sambil menutup handphonenya.

“Ma…ma…mama…!Denger Nasha dulu…..!! Teriakku.

Tut…tut…tut……………….

***

Taksi melaju dengan cepat menuju rumahku. Sekarang aku sudah sampai di depan rumahku yang mungil beratapkan bougenville yang telah banyak mengalami perubahan sama seperti perubahan pada penghuninya. Rumah yang dulu aku rindukan, rumah yang selalu aku banggakan, rumah yang nyaman dan indah. Dimana mama masih setia menungguku pulang sekolah. Papa pelang dengan suara deru mobilnya. Tapi sekarang hanyalah kenangan, yang kudapati dari rumahku adalah kesepian.. Aku rindu dengan suasana rumahku yang dulu, Segera aku masuk ke kamarku dan mengambil diaryku, seperti biasa apa yang akan aku lakukan.

Dear Diary,

Hari ini tanggal 15 Mei dimana usiaku yang ke-17 “Sweet seventeen” yang telah ku tunggu – tunggu. Tapi untuk yang kesekian kalinya papa dan mama tidak bisa menemaniku. Mereka sibuk dengan pekerjaan mereka. Dan kau tahu diary? Mama bilang aku akan baik – baik saja, karena aku anak yang mandiri. Tapi itu bukan berarti aku tidak butuh mereka kan? Aku masih Nasha yang dulu, Nasha yang masih butuh orang tua untuk menemaniku. Kau tahu diary? Rasanya aku ingin teriak sekuat – kuatnya, untuk melepaskan kesedihanku. Memang hidup ini sebuah pilihan, tapi aku tidak pernah memilih untuk kehilangan kasih sayang mereka.

Tulisku sambil menutup buku diaryku. Kurebahkan badanku ke tempat tidur, kurasakan mataku yang panas, ya… hari ini aku ingin menangis, aku sedih, aku kesepian. Aku tidak tahu harus bagaimana, dan aku butuh seseorang untuk menemaniku. Aku tidak tahu mengapa aku merasa seperti ini? Dan yang aku tahu…., saat ini aku rindu mama, papa hari ini… hari ini saja…, tiba – tiba….

Tet… tet… tet… bel rumah berbunyi memaksaku untuk menghapus airmataku. Ketika ku buka pintu, ternyata….

“Hi Nas, maukah kamu pergi denganku?” canda kevin sambil tersenyum simpul di depan pintu rumahku.

Kevin Putra Fernandes, dia teman baikku. Sudah hampir 5 tahun kami dekat. Tapi dia bukan pacarku. Setidaknya sampai kini kami belum berpacaran. Dia cowok yang baik dan dewasa. Maklumlah umurnya 3 tahun lebih tua dariku.

Aku mencoba tersenyum dan menjawab pertanyaan kevin. Tapi aku tak kuasa menahan air mata ini. Kevin memandangku lalu membawaku ke mobilnya.

“Ya udah, kamu ceritain di mobil aja ya, kamu sepertinya butuh udara segar untuk me- refresh semuanya,” ujarnya.

***

Tak lama kemudian….

“Nas, sudah sampai,” katanya sambil membuka mataku. “What! RSJ?! Kamu gak salah Vin? Kamu ngajak aku kesini? Mau ngapain? Aku kan Cuma bercanda?!” kataku marah, campur kaget, campur kesel, pokonya campur aduk deh, udah kayak es campur. Ya inilah kevin, selalu punya banyak ide briliant yang succes berat untuk membuatku jantungan. Dia membawaku kesini setelah aku menceritakan semuanya di mobil tadi. Moga saja ini bukan ide briliant gilanya, doaku dalam hati.

“Gak Nas, aku gak bercanda! Ayolah kamu pasti dapat banyak hal dari sini.” Katanya sambil menarik tanganku mengajak masuk.

Keadaan didalam rumah sakit ini sangat aneh dan mengerikan bagiku. Maklumlah ini baru pertama kalinya aku menginjakkan kaki di rumah sakit jiwa.

Tiba – tiba ada seorang cewek menarik lengan bajuku, sambil berkata. “Aku gak mau kalah. Pokoknya semua orang di dunia ini jahat! Mereka gak pernah memperdulikanku. Kembalikan…! Pokonya kembalikan semua milkiku!” katanya sambil terus menarik lengan bajuku. Untung saja, Kevin dan Suster yang membantu menenangkannya, kalau tidak aku mungkin sudah mati kaku sekarang.

Cewek yang cantik, kenapa dia disini? Dia juga masih muda mungkin umurnya berkisar 20 tahunan, ujarku dalam hati ketika rasa takutku sedikit luntur.

“Mbak maafkan pasien tadi, memang sudah biasa dia mengamuk tapi mbak tidak apa – apa kan?” tanya suster yang berumur separuh baya itu.

“Tidak apa – apa suster, tapi sus kalau boleh saya tahu kenapa cewek cantik itu bisa ada disini? Apa benar dia itu gila? Atau bagaimana?” tanyaku. Ups…! Aku keceplosan, celetukku pelan.

“Mbak ini ada – ada saja. Kalau orang yang ada disini ya setidaknya pasti gak waras mbak alias gila,” jawabannya dengan logat jawanya yang kental.

“Kamu benar – benar ingin tahu siapa dia?” tanga Kevin yang dari tadi hanya berdiri disebelahku.

Aku mengangguk bertanda ya, kemudian aku diajaknya menyusuri lorong panjang, dan akhirnya kami sampai di sebuah kamar. Kevin membukakan kamar itu.

“Cewek itu.” Pekikku kaget melihatnya. Cewek yang tadi menarik langan bajuku, tertidur pulas di atas tempat tidur.

“Jangan ribut,” kata Kevin. Kemudian dia menunjukkan sebuah papan berisikan data pasien.

NAMA : Vanny Putri Fernandes

USIA : 21 tahun

“Vin dia…?” tanyaku tak percaya.

Kevin mengajakku keluar dari kamar cewek itu, dia mengajakku duduk di taman rumah sakit jiwa itu.

“Nas, sebenarnya aku sudah lama ingin menceitakan ini, tapi aku gak berani. Dia kakakku. Dia sudah hampir 2 tahun disini. Dulu kak Vanny di mataku perfect, pintar dan cantik. Orang tuaku yang selalu membandingkan kami. Aku tak tahu apa yang menyebabkan kak Vanny seperti ini, yang aku tahu hari itu ketika aku mengetuk pintu kamarnya untuk mengajaknya sarapan, aku mendengar suara ribut – ribut dari kamarnya. Aku sudah mencoba tapi tak ada jawaban darinya. Akhirnya aku mendobrak pintu kamarnya dan aku melihat kak Vanny meringkuk, menangis, dan merengek seperti anak kecil. Semenjak itu, kami sekeluarga mencoba menyembuhkannya baik dengan terapi, dokter ataupun alternatif tetapi hasinya nihil. Dan inilah jalan terakhir yang harus kami pilih. Kata dokter Kak Vanny mengalami depresi yang sangat berat dan menyatakan bahwa kakakku gila. Dan setelah aku tanya pada kak Rasya, teman baik kak Vanny satu – satunya, dia bilang bahwa kak Vanny merasa gak ada yang memperhatikannya, tidak ada seorangpun yang menyayanginya, dan setiap kali kak Rasya bertanya apa masalahnya, kak Vanny selalu menjawab “aku baik – baik saja, aku gak butuh bantuan siapa pun” itulah kak Vanny, egois, dia merasa bahwa dia bisa tanpa siapa pun dan dia selalu menganggap orang tauku tidak mencintainya dan dia selalu berfikir tidak ada yang boleh mengalahkannya serta dia juga selalu merasa kurang dengan apa yang dia miliki,” cerita Kevin panjang lebar.

“Apa kamu gak pernah meras kehilangan orang tuamu seperti kak Vanny?” tanyaku.

“Pernah, tapi apa benar oarng tuaku sejelek itu? Gak kan Nas? Nyatanya mereka bekerja mencari uang untuk siapa? Untuk kami kan? Apalagi kalau bukan itu, aku sadar mereka sayang dengan kami cuma terkadang pekerjaan yang membuat mereka tidak punya waktu untuk kami. Apa ada orang tua yang tidak mencintai anaknya? Menurutku, seharusnya kita juga tidak boleh egois, iya kan?” tanya Kevin selama perjalanan.

Aku terdiam, aku gak tahu apa yang ada dipikiranku, semua perkataan Kevin masuk ke otakku menuju hatiku yang telah lama tak tersentuh, dalam…, dalam… sekali.

Dear Diary

Tadi aku pergi ke RSJ bersama Kevin, aku dapetin sesuatu yang benar – benar membuatku sadar. Ternyata selama ini aku salah dan bodohnya aku yang telah salah mengartikan kesendirianku. Ternyata aku sendiri karena aku menginginkannya, aku egois, aku tak pernah terbuka dengan orang lain, aku pikir dengan kepintaranku, aku bisa mengatasinya, aku gak butuh orang lain. Ternyata aku salah, salah besar… itu kesalahanku pertama. Kesalahanku yang kedua, aku tidak pernah bersyukur yang telah tuhan berikan. Bukankah Tuhan telah memberikan yang terbaik untuk hambanya. Kesalahanku yang ketiga, aku terlalu egois menganggap orang tuaku tidak memperhatikanku padahal aku yang tidak pernah memperhatikan mereka atau aku selalu meminta lebih kepada mereka. Terima kasih Tuhan, engkau telah membukakan mata hatiku hari ini, Aku janji akan menjadi lebih baik nantinya. Kututup buku diaryku dengan tersenyum.

Tiba – tiba….

“Malam sayang, ayo keluar! Papa dan mama udah nunggu kamu, sekarang ini hari ulang tahunmu kan? Sini! Anak mama udah tambah besar tapi harus tambah dewasa juga ya,” kata mama sambil memeluk dan mencium keningku.

Aku tersenyum dan memeluk wanita yang aku cintai ini. Maafin aku ya ma. Hari ini aku dapat kado yang sangat mahal dan paling berharga. Thanks banget ya Vin, kataku dalam hati sambil memeluk mama.

Kami pergi keluar untuk merayakan ulang tahunku. Terima kasih semuanya. Tuhan, akhirnya kerinduanku semuanya terobati. Aku ambil handphoneku kucari nomer Kevin, dan….

“Halo Kevin, makasih ya buat kadonya. Hmm, oh ya Vin. Apakah permintaanmu tentang diriku waktu itu masih berlaku?” tanyaku hati – hati.

“Ya iyalah, emangnya kenapa? Apa…?!” suara Kevin terhenti.

“Vin selama ini kamu udah nemenin aku dan memberikanku perhatian lebih, thanks banget ya. Aku Cuma mau bilang, aku mau mencoba menjalin hubungan denganmu, boleh…?!” tanyaku malu – malu anjing.

Kevin terdiam lama…. Sekitar 10 menit telah berlalu, ku hanya mendengar teriakkan Kevin dari seberang sana.

“Thanks Nasha, aku masih gak percaaya. Makasih ya.”

Kutatap langit penuh dengan bintang. Sudah lama aku tak melihat pemandangan malam seindah ini. Ataukah aku yang tak pernah menyadari keindahan ini. Terima kasih Tuhan. Sekarang aku harus berusaha agar sosok seorang Lauravian Pranasha dianantikan oleh banyak orang seperti matahari pagi yang bersianar yang diantikan banyak orang.

Tidak ada komentar: